Senin, 29 Desember 2008

Sepak Terjang Kader Tarbiyah (in memoriam)

Syekh Sulaiman ar-Rasuly dilahirkan di Canduang yaitu sebuah desa terletak lebih kurang 8 kilimeter sebelah timur kota bukittinggi tepatnya di kaki gunung Merapi. Syekh Sulaiman Ar-Rasuly yang lebih populer dengan sebutan Inyiak Canduang dilahirkan dari pasangan seorang ulama yaitu Angku Muhammad Rasul dan Siti Buliah.

Inyiak Canduang tercatat sebagai pemuda yang gigih dalam mengasah bakat keagamaan dan mata spritualnya lewat belajar dari berbagai tokoh-tokoh ulama ternama seperti belajar di pesantren Tuangku Sami' di Baso kemudian belajar agama dengan Syeikh Muhammad Thoib Umar di Sungayang-Batusangkar. Dan selesai belajar dari Syeikh Muhammad Thoid Umar ini Inyiak Canduang melanjutkan belajar agama pada Syeikh Abdullah Halaban. Dan pada masa-masa pematangan religinya tepatnya pada tahun 1903, Inyiak Canduang berangkat ke tanah suci dengan misi Tafaguh Fi al-Din dengan belajar dan memperdalam ilmu agama pada Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy. Selain pada Syeikh Ahmad Khatib ini Inyiak Canduang juga berupaya memperkaya khazanah pengetahuan agamanya lewat belajar pada ulama-ulama mashur di tanah suci seperti belajar pada Syeikh Mucthar At-Tharid, Syeikh Nawawi Al-Banteny, Sayyid Umar Bajened dan Syeikh Sayid Babas El-Yamani.

Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly kembali ke ranah minang pada tahun 1907 setelah memperkaya pengetahuan agama selama tiga setengah tahun di Tanah Suci. Secara histories kembalinya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly ke Ranah Minang merupakan warna tersendiri bagi dakwah Islam serta perjuangan rakyat Minangkabau dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini disebabkan tingkat perjuangan yang dilakoni oleh Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly ini sedikit berbeda dari ulama-ulama minang yang lain seperti halnya Buya Hamka, Syeikh Inrahim Musa yang merupakan golongan ulama muda yang garis perjuangannya bersifat Deaktivasi Kolonial dengan cara membakar jiwa perlawanan rakyat terhadap kolonialisme sedangkan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly garis perjuangannya lebih bersifat developmetisasi basisi perjuangan rakyat lewat berbagai bidang kehidupan sehingga basisi yang dibangun oleh Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly ini menjadi amunisi yang ampuh dalam megusir kolonialisme di Ranah Minang. Hal ini terbukti pada Agresi Militer Belanda I dan II ke ranah minang, dimana peran masyarakat sipil menjadi basis kekuatan dominan dalam membendung Agresi Belanda tersebut. Dalam hal ini Andrey Kahin berkomentar sebagaimana yang dikunilkannya oleh Djoeir Muhammad bahwa “laskar-laskar desa ini menjadi pasukan keamanan yang paling tangguh di daerah”. Aktualnya komentar Andrey Kahin ini menjadi indicator bahwa basis-bais masyarakat sipil telah dibangun oleh tokoh-tokoh pejuang termasuk di dalammya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly merupakan amunisi yang paling ampuh dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Sejarah perjuangan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly adalah sejarahnya mengembangkan masyarakat sipil manangkabau. Secara faktual ada beberapa basis yang dibangun oleh Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly sehingga menjadi piranti bagi perjuangan rakyat Sumatera Barat. Perttama : Reformasi sistem pendidikan agama sebagai modal perjuangan rakyat minangkabau dalam meningkatkan sumberdaya manusia. Sistem pendidikan agama di ranah minang pada zaman sebelum datangnya Inyiak Canduang lebih bersifat klasikal dengan metode halaqah dan hanya diajarkan mampuni. Oleh sebab itu Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly tampil sebagai reformis dalam pendidikan agama dengan mengarahkan metode pendidikan agama tradisional mengajarkan berbagai ilmu-ilmu agama mulai dengan ilmu-ilmu dasar bahasa arab seperti ilmu alat (nahu, syaraf, balaqah, badi’, ilmu hadits, ilmu qur’an dan mantiq) sampai dengan ilmu-ilmu terapan seperti (tafsir, akhlak, fiqh, tauhid) dengan reference utamanya adalah kitab klasik.

Siklus dari reformasi yang dilakoni oleh Inyian Canduang ini ialah terbentuknya Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI), proses berdirinya Madrasah ini didahului oleh proses musyawarah antara ulama-ulama yang mengaku dirinya sebagai penganut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang bermusyawarah di canduang pada tanggal 5 Mei 1928 dalam musyawarah ini disepakati bahwa ada reformasi sistem pendidikan agama islam dari system klasik ke system Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Diantara ulama yang menghadiri rapat ini ialah : Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly, Syeikh Ababs Al-Qadhi,dari Ladang Laweh Bukittinggi, Syeikh Ahmad dari Suliki, Syeikh Jamil Jaho dari Padang Panjang, Syeikh Abdul Wahid Ash-Shaleh dari Suliki, Syeikh Muhammad Arifin dari Batu Hampar, Syeikh Alwi dari Koto Nan Ampek Payakumbuh, Syeikh Jalaluddin dari Sicincin Pariaman, Syeikh Abdul Madjid dari Koto Nan Gadang dan HMS Sulaiman dari Bukittinggi. Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang pertama didirikan oleh Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly adalah MTI yang ada di Canduang pada bulan Mei 1928, lantas diberi nama dengan MTI CANDUANG kemudian baru diikuti oleh MTI Jaho di Padang Panjang yang dipimpin oleh Syeikh Jamil Jaho, kemudian disusul dengan berdirinya MTI Tabek Gadang Payakumbuh oleh Syeikh abdul Wahid Shaleh. Secara genetif MTI Canduang merupakan poros dari eksistensi MTI-MTI yang tersebar di Nusantara, tercatat sampai sekarang ada sekitar 216 Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang eksis di Sumatera Barat. Langkah yang dilakukan oleh Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly dalam mereformasi sistem pendidikan di Minangkabau merupakan pondasi bagi pengembangan basis perjuangan rakyat yang dipandang sebagai modal untuk mensupply sumberdaya manusia dalam rangka memperkuat kaum cendikia dan ulama yang mampu mengorbankan semangat rakyat dalam mencapai dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Kedua :Formulasi partai politik sebagai manifestasi Political Power (kekuatan Politik) dalam rangka memperkuat perjuangan kemerdekaan. Pada tanggal 28 Mei 1930 Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly memperkasai berdirinya PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) yang berfungsi sebagai pengelola Madrasah-Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang berada di bawah naungannya. Namun disebabkan gejolak revormasi pada tahun 1946 Organisasi PERTI yang khitahnya bergerak sebagai organisasi sosial keagamaan beralih fungsi menjadi Partai Politik. Peralihan fungsi PERTI ini menjadi partai politik disebabkan argumen KH. Sirajuddin Abbas murid Inyiak Canduang bahwa “Agama Jaga Harus Memberi Arah Pada Perjuangan Politik Bangsa”. PERTI dalam sejarah perpolitikan di Indonesia mempunyai andil yang cukup besar dalam memobilisasi rakyat dalam mensukseskan misi revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Namun seiring dengan waktu, perpecahan dalam tubuh PERTI tidak dapat dihindari karena adanya perebutan kekuasaan, perpecahan ini men gecewakan pendiri PERTI khususnya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly sehingga demi menyelamatkan PERTI beliau mengeluarkan Dekrit pada Tanggal 1 Mei 1969 agar PERTI kembali kepada khittahnya sebagai organisasi yang bergerak di bidang social dan keagamaan.

Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly tercatat sebagai negarawan yang mempunyai visi yang tajam tentang organisasi kemasyarakatan dalam rangka mengemban misi kemerdekaan Indonesia, karir politik Inyiak Canduang ini dimulai pada tahun 1918 hal ini terbukti dengan jabatan yang dipangkunya sebagai presiden anak cabang Serikat Islam untuk kabupaten Agam.

Karir Politik Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly berlanjut pada masa pendudukan Jepang, pada masa pendudukan Jepang kedudukan partai-partai Islam terancam pupus disebabkan intrik Jepang yang berusaha melenyapkan Partai-Partai Islam yang mereka pandang sebagai basis perjuangan rakyat Minangkabau. Dan intrik Jepang ini sempat terlaksana dengan cara meleburkan partai-partai islam yang ada di Sumatera Barat, hal ini dapat kita amati dari terbentuknya Majelis Islam Tinggi Minangkabau (MTIM) pada tahun 1943, dimana Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly di serahi sebagai ketua umum dan A. Ghaffar Jambek sebagai ketua I, HMD Panglimo Kayo sebagai sekretaris umum, MR. Mahmud Yunus memimpin Dewan Pengajaran, AR. Sutan Mansur mewakili Muhammadiyah, sedangkan H. Sirajuddin Abbas mewakili PERTI. Pada zaman kemerdekaan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly sempat diserahi tugas oleh Soekarno sebagai anggota konstituante RI, dan di tempatkan sebagai Dewan Kehormatan dengan menjadi pemimpin sidang pada sidang-sidang konstituante tersebut. Pada tahun 1947 Mr. Sotan Muhammad Rasyid, menyerahi Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly sebagai kepala Mahkamah Syar’iyah propinsi Sumatera Tengah dalam rangka mengurusi problematika syar’iyah dan sekaligus ulama yang berperan sebagai pengobar semangat perjuangan rakyat dalam rangka mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer Belanda.

Ketiga : Mendorong terbentuknya laskar-laskar rakyat yang pada akhirnya menjadi kekuatan dominan dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Peran yang dilakoni oleh Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly tidak terbatas pada skala sosial dan agama saja, namun juga mendorong lahirnya kekuatan-kekuatan pra-militer yang berfungsi sebagai laskar yang menjaga dan mengawal daerah dimana mereka bertugas. Dalam hal sejarah mencatat peran Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly dalam hal ini berawal ketika Jepang mengusulkan dan berdiskusi dengan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly agar dibentuk laskar-laskar rakyat yang aktualnya Jepang ingin mengambil manfaat sebagai tambahan kekuatan militer dalam rangka menghadapi perang Asia Raya. Terlepas dari itu upaya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly dalam membentuk laskar-laskar rakyat membawa dampak positif yang cukup besar dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari pendudukan Belanda kembali (Agresi Militer Belanda I dan II) Menyingkapi ususlan Jepang di atas Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly membentuk laskar rakyat Sumatera Barat dan kemudian diusulkan terbentuknya laskar muslim oleh PERTI, Hisbullah oleh Muhammadiyah, Barisan Sabilillah oleh MITM dan disusul dengan terbentuknya GPII, setelah Jepang kalah. Prediksi Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly tentang manfaat pembentukan laskar-laskar rakyat ternukti sebagai kekuatan utama yangmembela kemerdekaan Indonesia, hal ini disebabkan karena kemampuan militer yang di dapat dari Jepang menjadi amunisi tersendiri bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly wafat pada tanggal 1 Agustus 1970, wafatnya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly meningkalkan luka yang dalam bagi rakyat Indonesia, karena hilangnya salah seorang pejuang kemerdekaan dan ulama yang kharismatik dari roda kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian sebagai pejuang dan ulama besar yang memiliki kepribadian yang luhur, garis perjuangannya serta amalannya bagi nusa dan bangsa patut dijadikan teladan bagi generasi muda saat ini. Jasa Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly sebagai perintis kemerdekaan dan pengemban agama Islam tidak akan ternilai hanya dengan penghargaan Oranye Van Nassau dari pemerintahan Belanda, serta menobatkan beliau sebagai pahlawan perintis kemerdekaan dan dianugerahi tanda penghargaan sebagai ulama pendidik. Namun yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah dan semua komponen rakyat mengintegrasikan nilai-nilai perjuangan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.

Kamis, 13 November 2008

Selasa, 11 November 2008

** C I N T A **

Love is when you take away the felling, the passion, the romance and you find out you still care that person

Cinta datang kepada orang yang masih mempunyai harapan walau mereka telah dikecewakan, kepada mereka yang masih percaya walau mereka telah dikhianati, kepada mereka yang masih ingin mencintai walaupun mereka telah disakiti sebelumnya dan kepada mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan untuk membangun kembali kepercayaan itu

Permulaan cinta adalah dengan membiarkan orang yang kita cintai menjadi dirinya sendiri, dan tidak membentuk mereka menjadi sesuai dengan keinginan kita, dengan kata lain kita mencintai bayangan kita yang ada pada diri mereka.

Orang yang bahagia tak perlu memiliki yang terbaik dari segala hal, mereka hanya membuat hal yang datang dari diri dalam hidup mereka.

kebahagiaan adalah untuk mereka yang tersakiti, mereka yang telah mencari dan mereka yang telah mencoba karena merekalah yang bisa menghargai betapa pentingnya orang yang telah menyentuh kehidupan mereka

Terkadang meskipun tahu yang terbaik, tapi tuhan memberikan penderitaan sebagai ujian, terkadang tuhan melukai hati untuk kebijaksanaan yang lebih lagi, bila kita kehilangan cinta selalu ada alasan mengapa, alasan yang mungkin sulit untuk diterima, namun apapun alasan itu kita hanya perlu percaya, bahwa tuhan pasti memiliki sesuatu yang lebih baik untuk kita.

Mungkin tuhan menginginkan kita untuk bertemu dengan orang yang tidak tepat sebelum bertemu, dan ketika pada akhirnya kita bertemu dengan orang yang tepat kita akan tahu betapa berharganya anugerah tersebut.

Memberikan semua cinta kita kepada seseorang tidak menjamin bahwa mereka akan mencintai kita juga, jangan harapkan cinta sebagai balasan, tetapi tunggulah sampai cinta itu tumbuh didalam hati mereka.

Aku akan menjadikan hari kemarin sebagai kenangan, hari ini sebagai kenyataan, dan hari esok sebagai harapan

Senin, 10 November 2008

"Sebuah Kealpaan"

Oleh: Usman. S.HI

Engkau beri aku lidah lalu kusebut nama-Mu
tapi aneh diriku ini....
kusebut Engkau dalam lidahku
tapi dalam hati tak kuingat Engkau
aku bersujud menyebutmu yang terbayang pada anganku kemewahan dunia
aku zikir menyapa-Mu ya Allah,
yang kubayangkan senyuman setan, lidah, lidah, lidah milikku lidah sayangku

Ya Rasulullah...........
setiap saat jasadku salat
setiap kali tubuhku bersimpuh
diriku jua yang kuingat setiap saat kubaca salawat
setiap kali tak lupa kubaca salam
salam kepadamu
wahai nabi tapi tak pernah kusadari apakah di hadapanku kau menjawab salamku.

Minggu, 09 November 2008

Biografi Ulama Kito (Prof. Dr. HAMKA)

Oleh : Usman, S.HI

HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.

Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).

Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.

Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.

Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.

Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai

Sabtu, 08 November 2008

(Ghazwul Fikri)

Seorang wanita berjilbab rapi tampak sedang bersemangat mengajarkan sesuatu kepada murid-muridnya. Ia duduk menghadap murid-muridnya. Di tangan kirinya ada kapur, di tangan kanannya ada penghapus. Sang guru berkata, “Saya punya permainan… Caranya begini, di tangan kiri saya ada kapur, di tangan kanan ada penghapus. Jika saya angkat kapur ini, maka berserulah Kapur!”, jikasaya angkat penghapus ini, maka berserulah “Penghapus!”.
Murid-muridnya pun mengerti dan mengikuti. Sang guru berganti-gantian mengangkat antara kanan dan kiri tangannya, semakin lama semakin cepat. Beberapa saat kemu dian sang guru kembali berkata, “Baik sekarang perhatikan. Jika saya angkat kapur, maka berserulah “Penghapus!”, jika saya angkat penghapus, maka katakanlah “Kapur!”.

Dan dijalankanlah adegan seperti tadi, tentu saja murid-murid kerepotan dan kelabakan, dan sangat sulit untuk merubahnya. Namun lambat laun, mereka bisa beradaptasi dan tidak lagi sulit. Selang beberapa saat, permainan berhenti. Sang guru tersenyum kepada murid-muridnya. “Anak-anak, begitulah kita ummat Islam. Mulanya yang haq itu haq, yang bathil itu bathil. Kita begitu jelas membedakannya. Namun kemudian, musuh-musuh kita memaksakan kepada kita lewat berbagai cara, untuk membalik sesuatu, dari yang haq menjadi bathil, dan sebaliknya. Pertama-tama mung kin akan sulit bagi kita menerima hal tersebut, tapi karena terus disosialisasikan dengan cara-cara menarik oleh mereka, akhirnya lambat laun kalian terbiasa dengan hal itu. Dan kalian mulai mengikutinya.
“Musuh-musuh kalian tidak pernah berhenti membalik nilai. Pacaran tidak lagi sesuatu yang tabu, zina tidak lagi jadi persoalan, pakaian mini menjadi hal yang lumrah, sex before married menjadi suatu hiburan, materialistis dan permisive kini menjadi suatu gaya hidup pilihan, tawuran menjadi trend pemuda… dan lain-lain.” Semuanya sudah terbalik. Dan tanpa disadari, kalian sedikit demi sedikit menerimanya. Paham?” tanya Ibu Guru kepada murid-muridnya. “Paham buu…”

“Baik permainan kedua…” begitu Bu Guru melanjutkan. “Bu Guru punya Qur’an, Ibu letakkan di tengah karpet. Nah, sekarang kalian berdiri di luar karpet. “Permainannya adalah, bagaimana caranya mengambil Qur’an yang ada di tengah tanpa menginjak karpet?”
Nah, nah, nah. Murid-muridnya berpikir keras. Ada yang punya alternatif dengan tongkat, dan lain-lain. Akhirnya Sang Guru memberikan jalan keluar, ia gulung karpetnya, dan ia ambil Qur’annya. Ia memenuhi syarat, tidak menginjak karpet.
“Anak-anak, begitulah ummat Islam dan musuh-musuhnya… Musuh-musuh Islam tidak akan menginjak-injak kalian dengan terang-terangan… Karena tentu kalian akan menolaknya mentah mentah. Premanpun tak akan rela kalau Islam dihina di hadapan mereka. Tapi mereka akan menggulung kalian perlahan-lahan dari pinggir, sehingga kalian tidak sadar.”
“Jika seseorang ingin membangun rumah yang kuat, maka dibangunnyalah pondasi yang kuat. Begitulah Islam, jika ingin kuat, maka bangunlah aqidah yang kuat. Sebaliknya, jika ingin membongkar rumah, tentu susah kalau membongkar pondasinya dulu, tentu saja hiasan-hiasan dinding akan dikeluarkan dulu, kursi dipindahkan dulu, lemari disingkirkan dulu satu persatu, baru rumah dihancurkan…”
“Begitulah musuh-musuh Islam menghancurkan kita. Ia tidak akan menghantam terang terangan, tapi ia akan perlahan-lahan mencopot kalian. Mulai dari perangai kalian, cara hidup kalian, model pakaian kalian, dan lain-lain, sehingga meskipun kalian muslim, tapi kalian telah meninggalkan ajaran Islam dan mengikuti cara yang mereka… Dan itulah yang mereka inginkan.”
“Ini semua adalah fenomena Ghazwul Fikri (invasi pemikiran). Dan inilah yang dijalankan oleh musuh musuh kalian… Paham anak-anak?” “Paham buu!”
“Kenapa mereka tidak berani terang-terangan menginjak-injak Islam, Bu?” tanya seorang murid. “Sesungguhnya dahulu mereka terang-terangan menyerang, semisal Perang Salib, Perang Tartar, dan lain-lain. Tapi sekarang tidak lagi.”
“Begitulah Islam, Kalau diserang perlahan-lahan, mereka tidak akan sadar, akhirnya ambruk. Tapi kalau diserang serentak terang-terangan, mereka akan bangkit serentak, baru mereka akan sadar.” Kalau saja ummat Islam di Ambon tidak diserang, mungkin umat Islam akan lengah terhadap sesuatu yang sebenarnya selalu mengincar mereka. Paham anak-anak?” “Paham Buu..”

“Kalau begitu, kita selesaikan pelajaran kita kali ini, dan mari kita berdoa dahulu sebelum pulang…” Matahari bersinar terik tatkala anak-anak itu keluar meninggalkan tempat belajar mereka dengan pikiran masing-masing di kepalanya.

"Pengemar"